page view stat

AUDIT PT. KAI


.

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Menerapkan proses GCG dalam suatu perusahaan bukanlah merupakan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Apabila ketiga hal tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem pengawasan yang efektif.

Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama.

Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas didalam menyajikan laporan keuangan yang tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang semestinya. Sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pelayanan publik, PT. KAI memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan swasta lainnya dan akan merupakan pembelajaran yang menarik bagi semua badan pengawas perusahaan terutama mengenai bagaimana seharusnya pengawasan yang efektif dapat dibangun.

BAB II

PERMASALAHAN

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI PT. KAI

Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Ketua Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.

Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat atas 4 (empat) hal, yaitu :

1. Masalah piutang PPN. Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atas jasa tersebut, PT. KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.

2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3. Masalah persediaan dalam perjalanan. Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN). BPYBDS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.

BAB III

PEMBAHASAN DAN SOLUSI

Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah auditor eksternal telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku (PSAK dan SPAP)? Lebih jauh lagi apakah auditor eksternal telah berkomunikasi dengan Komite Audit, dan apakah komunikasi tersebut efektif ?

Terlepas dari pihak mana yang benar, permasalahan ini tentunya didasari oleh tidak berjalannya fungsi check and balances yang merupakan fungsi substantif dalam perusahaan. Yang terpenting adalah mengidentifikasi kelemahan yang ada sehingga dapat dilakukan penyempurnaan untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di masa yang akan datang.

Untuk memahami akar dari permasalahan yang terjadi, perlu dikaji beberapa hal yang signifikan terkait dengan masalah ini, yang mungkin merupakan sumber permasalahan dari tidak berjalannya mekanisme pengawasan (oversight) di PT. KAI. Misalnya, bagaimana proses penyusunan laporan keuangan yang berjalan selama ini? Apakah Komisaris (termasuk Komite Audit) terlibat didalamnya? Mengapa Komisaris baru dapat mengidentifikasi permasalahan setelah laporan keuangan selesai diaudit oleh auditor eksternal? Bagaimana proses dan kualitas internal control yang ada? Apakah Komisaris dan Komite Audit berperan secara optimal dalam melakukan pengawasan (oversight)?

Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu :

1. Advising. Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu sebaiknya Dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.

2. Protecting. Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan. Misalnya : memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip GCG.

3. Supervising. Mengawasi pengelolaan perusahaan agar mampu menciptakan value yang optimal bagi stakeholders.

Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3 hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting (dengan cara memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris.

Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting dalam :

1. Mereview audit plan

2. Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite Audit harus sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat fairness proses pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah Dewan Komisaris, bukan Komite Audit. Jangan sampai Komite Audit over duties (berlebih-lebihan).

3. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.

Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite Audit dapat membantu Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara :

1. Mereview sistem internal control, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal control setting) bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.

2. Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya Komite Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan manajemen karena tidak selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan Komisaris, terutama karena latar belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi Komite Audit adalah mentransformasikan angka-angka kedalam suatu bentuk usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat memberikan advise kepada Direksi.

Kasus PT. KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di perusahaan lainnya. Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan Komisaris terjadi perbedaan pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social and political costnya sangat tinggi. Selain itu masing-masing pihak yang sedang berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris) akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang pada akhirnya akan mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.

Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.

Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :

  1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor Eksternal.
  2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit.
  3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan Komite Audit juga tidak menanyakannya.
  4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.

Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari adalah :

  • Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access Charges)
  • Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status perusahaan)
  • Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)
  • Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai
  • RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas perusahaan dan keikutsertaan swasta.

SOLUSI DAN REKOMENDASI


Dengan pembahasan kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :

Pertama, perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public judgement yang sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.

Kedua, Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Ketiga,Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.

Keempat, komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk proses audit tahun buku 2006.

Kelima, terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi yang telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap dilakukan.

Keenam, beberapa hal teknis yang pelru dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.


Khusus untuk PT. Kereta Api, beberapa masukan yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi saat ini adalah :

  1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.
  2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT. Kereta Api sedang diproses disana.
  3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.
  4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.
  5. Komite Audit berperan aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.
  6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.
  7. Komite Audit menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam pengawasan. Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor Internal yang berkomunikasi intens dengan Komite Audit.

Pembelajaran menarik dalam aspek public governance pada kasus ini adalah mengenai Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS). Sebagai perwakilan pemegang saham (yaitu Pemerintah), departemen teknis terkait dan Kementerian BUMN seharusnya tegas dalam menentukan BPYBDS ini, apakah merupakan penyertaan modal atau hutang. Fakta yang terjadi saat ini adalah BPYBDS statusnya tetap dibiarkan tidak jelas sampai bertahun-tahun sehingga nilainya di beberapa BUMN mencapai triliunan rupiah. Hal ini jelas akan berpotensi menimbulkan masalah di masa yang akan datang, karena akan menyulitkan perusahaan dalam mengelompokkannya, apakah termasuk aset atau kewajiban (liability).

Terlepas dari kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, concern yang mengemuka terkait dengan Auditor Eksternal adalah merebaknya praktek penipuan dan manipulasi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan Kantor Akuntan Publik yang ada atau memalsukan/membuat nama Kantor Akuntan Publik yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai akuntan publik.

Secara prinsip Komite Audit sangat tergantung pada akuntan publik. Terkait dengan praktek penipuan tersebut, untuk meningkatkan citra profesi IAI Kompartemen Akuntan Publik telah membentuk Dewan Review Mutu untuk mereview mutu pekerjaan akuntan publik. Untuk itu peran aktif pengguna jasa akuntan publik sangat dibutuhkan karena hanya dengan pengaduan suatu tindakan penipuan atau manipulasi dapat ditindaklanjuti oleh IAI.

Your Reply